Kidung Cinta untuk Ibu; Prolog

Pemulung Rasa


Ibu;
Aku mencintaimu, sebelum kumengenal wajahmu.
Aku menyayangimu, sebelum kurasakan belaian lembut lentik jemari kasih sayangmu.
Aku merindukan senyum manismu sedari mulai tumbuh di rahimmu.

Ibu,
Aku mencintaimu,
Ibu,
Aku menyayangimu,
Ibu,
Tanpamu aku tak akan menjadi seperti saat ini.

Ibu,
Maaf.
Anakmu ini berkali-kali menggores luka di hatimu,
Anakmu ini selalu menjadi penyebab air matamu meleleh.
Ibu,
Maaf,
Anakmu belum bisa sedikitpun membahagiakanmu.
Ibu,
Aku mencintaimu.
Sila baca di ruang Pulungan Pemulung Rasa:

Ibu, ini adalah secuil kidung yang selalu aku lantunkan dalam simpuhku pada Sang Dalang. Kidung ini adalah langgam yang aku semai dalam genggam pun diam. Kidung ini adalah surat cinta dari anakmu yang belum bisa mengukir senyum indah dibibirmu.

Ibu, terima kasih atas keluasan samudera kasih sayangmu. Terima kasih, bibir manismu telah mengajarkan bibir ini berkata-kata dengan ritmik puitik samudera kata. Ibu, kidung ini aku tulis untukmu, dalam ruang sunyiku. Maaf, jika anakmu ini hanya menghidupkanmu dalam kidung-kidung cinta pada simpuh di hadapan Sang Maha Cinta.

Ibu, ini adalah kidung dari anakmu yang dulu engkau ajari bicara. Namun, terkadang dengan kepandaian bicaranya sering menyakiti rasamu. Kalbumu yang seharusnya menjadi tempat singgah haru, menjelma menjadi tempat persinggahan sendu, pilu pun ngilu.

Kidung ini dari anakmu yang selalu ditimang dengan jemari kesabaran dan alunan kasih sayang selama ribuan hari. Namun, selama waktu itu pula, belum pernah sedikitpun bisa melukiskan senyum anggunmu dari langkah kakiku menapaki pun menyusuri belantara mayapada ini.

Ibu, ribuan hari yang lalu, nenek kesakitan. Namun beliau menangis penuh kebahagiaan. Sosok wanita anggun penuh kesabaran, tak mengenal putus asa, selalu berjuang dengan pijakan atas izin dan ridho-Nya. Sosok wanita berhati mulia yang hidupnya penuh kasih sayang kepada sesama.

Sosok yang selalu tersenyum dan bersyukur dalam keadaan hidup seperti apapun. Wanita yang sepanjang hidupnya digunakan untuk belajar memaknai hidup, menikmati hidup dengan belajar dari mana pun, dan dari apapun yang ada di semesta raya ini.

Sosok wanita yang selalu belajar mensyukuri dan menikmati hidup dari orang-orang yang dihinggapi kesabaran, semangat, syukur, penuh keikhlasan pun ketulusan, penuh kemanunggalan, dalam menjalani hidup, tanpa memandang latar belakang profesinya. Ia selalu belajar dari mereka di luar sana yang benar-benar hidup. Sosok wanita yang selalu belajar dan berjuang untuk berbagi kasih sayang kepada mereka yang tidak seberungtung dirinya.

Sosok wanita yang selalu belajar memberikan pelukan rasanya kepada mereka yang kecil, mengecil, dan dikecilkan. Seorang yang selalu berjuang menumbuhkan bara semangat dan syukur kepada siapapun dalam menghadapi kehidupan yang penuh gelombang. Seorang wanita itu, tidak akan pernah habis di ceritakan pun dikisahkan.

Andai ia dituliskan dalam sebuah buku, buku itu sendiri pun tidak akan pernah cukup untuk menuliskan kisahnya, kebaikan hatinya, keikhlasannya, ketulusan hatinya, kesabarannya, dan segalanya. Tinta pun tak akan pernah cukup menuliskan asmanya. Jikalau lautan di semesta ini adalah tinta-tinta, lautan itu pun akan kering untuk menuliskan asmanya. Dan sampai kering pun tak akan pernah selesai menuliskannya. Jika engaku ditulis dalam kerta, sampai hutan gundul pun tidak akan pernah ada usainya untuk menuliskan namamu.

Ibu, kidung cinta ini aku tulis untukmu. Jika boleh bercerita, jemariku meleleh ketika menulisakan kata ‘ibu’ dalam surat cinta ini. Itu baru satu kata bu. Mungkin jika aku menuliskan sedari awal aku mengenalmu, sebelum aku menatap wajahmu, ragaku akan meleleh. Sebab, engkau terlalu indah untuk dikisahkan.

Ibu, abjad-abjad yang aku rakit menjadi kata, lalu aku rakit lagi menjadi kalimat, lalu aku rakit lagi menjadi paragraf ini sebenarnya sudah meleleh sebelum aku menulisnya. Kala hatiku berniat menulis sedikit tentangmu, saat itu pula abjad-abjad yang aku kumpulkan di ruang rasa dan pikirku meleleh. Ia lari terbirit-birit sebab kata pun merasa tak pantas untuk menuliskanmu.

Ibu, maaf jika aku menulis sebutir debu tentangmu ini tidak tertata rapi, tidak indah. Sebab setiap keindahan yang akan aku tulis lari tunggang-langgang. Seindah apapun kata yang aku pilih, tetap kalah dengan keindahan senyummu.

Ibu, engkau adalah segalanya yang diutus oleh Sang Mahasegalanya untukku. Kala aku merasakan pelukanmu, aku merasakan pelukan kasih sayang Tuhan. Kala engkau tersenyum ketika aku pulang dari langgar, aku merasakan gelombang pelukan Tuhan.

Ibu, surga pun akan sepi jika aku tanpamu di sana.

Bu dari dulu aku ingin menuliskan puisi untukmu. Namun puisi apa yang akan aku tulis, sebab engkau adalah puisi itu sendiri. Bu, berulang kali aku mencoba menulis puisi, namun aku selalu merasa puisi itu kurang dan tak pantas aku sajikan untukmu. Bu, mohon maaf jika puisi yang aku tulis untukmu ini adalah sebuah kekurangajaran seorang anak kepada ibunya, adalah ketidaksopanan seorang anak kepada ibunya. Sebab, puisi ini tak pantas aku sajikan untukmu. Namun aku terpaksa menulisakan puisi ini untukmu sebagai tanda bahwa puisi apapun tidak akan pantas aku tulis untukmu sebab engkau adalah puisi itu sendiri.

Bu seuntaian abjad ini adalah puisi untukmu yang aku tulis menggunakan tinta air mata dan pena rasaku.

Bu.....
Ingin ku tulis puisi untukmu,
Tapi harus dari mana aku memulainya,
Di beranda palung kalbuku abjad-abjad berserakan;
-sesekali aku punguti lalu ku bawa ke dapur rasaku.-
Di atas telenan kegelisahan aku potong-potong abjad dengan mata pisau hatiku;
-kuambil bumbu rima pada rasa yang kusimpan di kulkas sanubari – sedari dulu waktu di bangku sajak, aku menemuimu dalam balut satin rerinduan keagungan.
 
Sampai detik habis, sepiring puisi dariku untukmu pun tak pantas aku sajikan untukmu,
Lalu aku kembali memasak sepiring puisi lagi,
Lagi lagi sepiring puisi itu tak pantas aku sajikan untukmu,
Aku memasak puisi lagi untukmu,
Bumbu-bumbu kuracik dengan hati-hati, penuh hati, di dalam hati.
Lagi lagi puisi itu bagiku belum pantas kusajikan untukmu,
Aku sadar bu,
Berjuta piring puisi pun tak akan pantas kusajikan untukmu.
Penuh hati, tiga jariku mengambil puisi, kucicipi.
Ibu, engkau adalah puisi itu sendiri.

Post a Comment