Sila baca di ruang Pulungan Pemulung Rasa:
Ibu, ini adalah secuil kidung yang selalu aku lantunkan dalam simpuhku pada
Sang Dalang. Kidung ini adalah langgam yang aku semai dalam genggam pun diam.
Kidung ini adalah surat cinta dari anakmu yang belum bisa mengukir senyum indah
dibibirmu.
Ibu, terima kasih atas keluasan samudera kasih sayangmu. Terima kasih, bibir manismu telah mengajarkan bibir ini berkata-kata dengan ritmik puitik samudera kata. Ibu, kidung ini aku tulis untukmu, dalam ruang sunyiku. Maaf, jika anakmu ini hanya menghidupkanmu dalam kidung-kidung cinta pada simpuh di hadapan Sang Maha Cinta.
Ibu, ini adalah kidung dari anakmu yang dulu engkau ajari bicara. Namun,
terkadang dengan kepandaian bicaranya sering menyakiti rasamu. Kalbumu yang
seharusnya menjadi tempat singgah haru, menjelma menjadi tempat persinggahan
sendu, pilu pun ngilu.
Kidung ini dari anakmu yang selalu ditimang dengan jemari kesabaran dan
alunan kasih sayang selama ribuan hari. Namun, selama waktu itu pula, belum
pernah sedikitpun bisa melukiskan senyum anggunmu dari langkah kakiku menapaki
pun menyusuri belantara mayapada ini.
Ibu, ribuan hari yang lalu, nenek kesakitan. Namun beliau menangis penuh
kebahagiaan. Sosok wanita anggun penuh kesabaran, tak mengenal putus asa,
selalu berjuang dengan pijakan atas izin dan ridho-Nya. Sosok wanita berhati
mulia yang hidupnya penuh kasih sayang kepada sesama.
Sosok yang selalu tersenyum dan bersyukur dalam keadaan hidup seperti
apapun. Wanita yang sepanjang hidupnya digunakan untuk belajar memaknai hidup,
menikmati hidup dengan belajar dari mana pun, dan dari apapun yang ada di
semesta raya ini.
Sosok wanita yang selalu belajar mensyukuri dan menikmati hidup dari
orang-orang yang dihinggapi kesabaran, semangat, syukur, penuh keikhlasan pun
ketulusan, penuh kemanunggalan, dalam
menjalani hidup, tanpa memandang latar belakang profesinya. Ia selalu belajar
dari mereka di luar sana yang benar-benar hidup. Sosok wanita yang selalu
belajar dan berjuang untuk berbagi kasih sayang kepada mereka yang tidak
seberungtung dirinya.
Sosok wanita yang selalu belajar memberikan pelukan rasanya kepada mereka
yang kecil, mengecil, dan dikecilkan. Seorang yang selalu berjuang menumbuhkan
bara semangat dan syukur kepada siapapun dalam menghadapi kehidupan yang penuh
gelombang. Seorang wanita itu, tidak akan pernah habis di ceritakan pun
dikisahkan.
Andai ia dituliskan dalam sebuah buku, buku itu sendiri pun tidak akan
pernah cukup untuk menuliskan kisahnya, kebaikan hatinya, keikhlasannya,
ketulusan hatinya, kesabarannya, dan segalanya. Tinta pun tak akan pernah cukup
menuliskan asmanya. Jikalau lautan di semesta ini adalah tinta-tinta, lautan
itu pun akan kering untuk menuliskan asmanya. Dan sampai kering pun tak akan
pernah selesai menuliskannya. Jika engaku ditulis dalam kerta, sampai hutan
gundul pun tidak akan pernah ada usainya untuk menuliskan namamu.
Ibu, kidung cinta ini aku tulis untukmu. Jika boleh bercerita, jemariku
meleleh ketika menulisakan kata ‘ibu’ dalam surat cinta ini. Itu baru satu kata
bu. Mungkin jika aku menuliskan sedari awal aku mengenalmu, sebelum aku menatap
wajahmu, ragaku akan meleleh. Sebab, engkau terlalu indah untuk dikisahkan.
Ibu, abjad-abjad yang aku rakit menjadi kata, lalu aku rakit lagi menjadi
kalimat, lalu aku rakit lagi menjadi paragraf ini sebenarnya sudah meleleh
sebelum aku menulisnya. Kala hatiku berniat menulis sedikit tentangmu, saat itu
pula abjad-abjad yang aku kumpulkan di ruang rasa dan pikirku meleleh. Ia lari
terbirit-birit sebab kata pun merasa tak pantas untuk menuliskanmu.
Ibu, maaf jika aku menulis sebutir debu tentangmu ini tidak tertata rapi,
tidak indah. Sebab setiap keindahan yang akan aku tulis lari tunggang-langgang.
Seindah apapun kata yang aku pilih, tetap kalah dengan keindahan senyummu.
Ibu, engkau adalah segalanya yang diutus oleh Sang Mahasegalanya untukku.
Kala aku merasakan pelukanmu, aku merasakan pelukan kasih sayang Tuhan. Kala
engkau tersenyum ketika aku pulang dari langgar, aku merasakan gelombang pelukan
Tuhan.
Ibu, surga pun akan sepi jika aku tanpamu di sana.
Bu dari dulu aku ingin menuliskan puisi untukmu. Namun puisi apa yang akan
aku tulis, sebab engkau adalah puisi itu sendiri. Bu, berulang kali aku mencoba
menulis puisi, namun aku selalu merasa puisi itu kurang dan tak pantas aku
sajikan untukmu. Bu, mohon maaf jika puisi yang aku tulis untukmu ini adalah
sebuah kekurangajaran seorang anak kepada ibunya, adalah ketidaksopanan seorang
anak kepada ibunya. Sebab, puisi ini tak pantas aku sajikan untukmu. Namun aku
terpaksa menulisakan puisi ini untukmu sebagai tanda bahwa puisi apapun tidak
akan pantas aku tulis untukmu sebab engkau adalah puisi itu sendiri.
Bu seuntaian abjad ini adalah puisi untukmu yang aku tulis menggunakan tinta air mata dan pena rasaku.
Ingin ku tulis puisi untukmu,
Di beranda palung kalbuku abjad-abjad berserakan;
-sesekali aku punguti lalu ku bawa ke dapur rasaku.-
Di atas telenan kegelisahan aku potong-potong abjad dengan mata pisau hatiku;
-kuambil bumbu rima pada rasa yang kusimpan di kulkas sanubari – sedari dulu waktu di bangku sajak, aku menemuimu dalam balut satin rerinduan keagungan.
Sampai detik habis, sepiring puisi dariku untukmu pun tak pantas aku sajikan untukmu,
Lalu aku kembali memasak sepiring puisi lagi,
Lagi lagi sepiring puisi itu tak pantas aku sajikan untukmu,
Aku memasak puisi lagi untukmu,
Bumbu-bumbu kuracik dengan hati-hati, penuh hati, di dalam hati.
Lagi lagi puisi itu bagiku belum pantas kusajikan untukmu,
Aku sadar bu,
Berjuta piring puisi pun tak akan pantas kusajikan untukmu.
Penuh hati, tiga jariku mengambil puisi, kucicipi.
Ibu, engkau adalah puisi itu sendiri.