(KEMBALI) MENILIK CAKRUK

Pemulung Rasa

Sudrun dan Cakruk Tua | Edisi (Kembali) Menilik Cakruk

Malam ini, cakruk sepi. Memang banyak orang yang duduk-duduk di amben dengan berbagai versi sesuai kenyamanan masing-masing. Ada yang berposisi jegang, sila, timpuh, ongkang-ongkang, slonjoran, tiduran, ada juga yang memilih jongkok di bawah, dan berbagai ragam versi duduk lainnya. Tetapi cakruk tidak pernah mementaskan orang yang menduduki kepala orang lain. Meski tak dapat di pungkiri bahwa dalam ruang kehidupan yang penuh keragaman ini ada juga yang baru merasa nyaman dan bahagia ketika menduduki kepala orang lain, atau tempat yg lebih tinggi.

Cakruk selalu menjadi ruang yang sama rata, sejajar. Tidak ada yang ditinggikan dan direndahkan. Ruang tersebut merupakan salah satu ruang yang menjadi ruang latihan manusia agar mampu menjadi manusia ruang. Jalan menujunya adalah sebuah kesadaran kosmik untuk manunggal dengan semuanya. Di cakruk yang diproduksi adalah keselarasan, menghargai, mentafakuri, mentadaburi segala isi dari keramaian yang ditampilkan siang atau malam, lalu dikemas menjadi sebuah keindahan-keindahan hidup. Ruang itu adalah ruang pencarian atas ada dan kehadiran.

Malam ini, di samping kanan cakruk, beberapa orang masih sibuk dengan tumpukan kayu yang sedari tadi tidak mau menyala. Ketela yang akan menghangatkan malam pun sudah cukup lama rebahan di sampingnya. Sedang mulut-mulut sudah kecut, cacing-cacing berdemonstrasi karena kelaparan. Beberapa cacing mungkin sedang membakar ban bekas, dan melempar bebatuan di instansi perususan, yang mengakibatkan seluruh pengisi kompleks perut tidak nyaman dan ingin sesegera menggelontorkan bakaran ketela, agar mereka semua diam.

Terkadang, kelaparan menjadi salah satu penyebab dari adanya teriakan tuntutan-tuntutan atas hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemilik kekuasaan. Bahkan terkadang kelaparan juga menjadi muasal dari sebuah kekacauan baik secara verbal maupun non-verbal. Lebih parahnya, kelaparan juga bisa menjadi penyebab kekacauan jiwa. Sehingga ruh inti dari ruang tersebut perlahan luntur, bahkan hilang, dan terkubur.

Kelaparan merupakan bentuk kegagalan dari pemilik kuasa dalam menjalankan kewajiban dan memenuhi hak-hak atas apa yang dikuasainya. Kelaparan juga merupakan salah satu dampak dari adanya sebuah ketidakadilan, baik ketidakadilan dalam sikap, perilaku, perlakuan dan atau memperlakukan, dan bisa jadi ketidakadilan sedari sebelum berpikir dan merasa.

Kelaparan merupakan ruang tadabur, tafakur, dan ruang lahirnya banyak pertanyaan-pertanyaan. Kelaparan merupakan ruang yang begitu luas maknannya. Dan hari ini adalah ruang pencarian akan makna dari kelaparan itu sendiri. Sebab, terkadang diri kita terjebak dalam pemaknaan kelaparan dalam makna urusan perut. Sedangkan hidup bukan sebatas urusan perut.

Di sisi lain, Lapar itu baik. Manusia yang tidak merasa lapar harus bertanya dirinya, apakah dirinya manusia atau bukan. Namun kelaparan atau kalau orang Jawa menyebutnya kaliren merupakan sesuatu yang kurang baik bahkan sangat tidak baik. Kelaparan terjadi karena adanya sebuah disharmoni dalam menjalankan sistem kehidupan yang begitu kompleks ini. Baik disharmoni di dalam diri sendiri, disharmoni diri dengan manusia lain, disharmoni diri dengan makhluk lain, atau mungkin bisa jadi disharmoni dengan hal yang lebih universal atau hal besar yang diri lupakan atas kebesarannya.

Orang-orang yang singgah di cakruk pun memiliki kemesraan tersendiri dengan lapar. Cakruk dan ketela bakar adalah kemesraan tersebut, apalagi ditambah secangkir teh pahit atau kopi. Maka akan lahir dan menghadirkan kemesraan tersendiri. Setiap kepala dan jiwa orang yang singgah di sana menjadi lupa akan penderitaan, kekecewaan, keluh kesah, amarah, dan segala emosi yang hari tadi hadir di dalam dirinya.

Cakruk selalu menjadi ruang menemukan kemerdekaan duduk usai mereka dipenjarakan cara duduknya, cara berbicaranya, cara bergeraknya, cara berpikirnya dan lain sebagainya. Penjara-penjara itu terkadang berwujud rumah, tempat kerja, dan ruang-ruang lainnya. Cakruk memang sedari dulu memasrahkan dirinya menjadi ruang demokrasi bagi masyarakat. Apapun dan siapapun diterima di sana dengan terbuka dan penuh cinta.

Cakruk tidak pernah memiliki alasan untuk menolak, bahkan orang gila atau sebuah kegilaan sekali pun tetap diterimanya dengan terbuka dan penuh cinta. Cakruk selalu mengajarkan kepada siapapun menjadi ruang yang bisa menampung berbagai ragam bentuk, karakter, sifat, dan berbagai keanekaragaman. Hal utama yang diproduksi oleh cakruk adalah bagaiamana mengutamakan keselarasan, keindahan, kemesraan. Sebab hal tersebut merupakan jalan menuju harmoni yang sejati, baik dalam lingkup mikro maupun makro.

Namun, malam ini masih sama seperti malam-malam beberapa pecan terakhir ini, cakruk sepi. Memang manusia yang hadir di cakruk banyak, berjubal. Namun 'hadir' tidak selalu 'ada', begitu pula sebaliknya; 'ada' tidak selalu 'menghadiri'. Hadir dan ada bukan perkara fisik, namun perkara batin, jiwa, ruh. Hadir dan ada kali ini mulai mengalami penetrasi.

Malam ini keramian agak berbeda dengan beberapa windu lalu. Keramaian kini ada di dalam diri orang-orang yang hadir di cakruk. Semua terjebak dalam labirin keriuhannya masing-masing –baik yang berasal dari diri sendiri atau dari luar diri-, yang tak bisa diwakili oleh kata-kata. Sebab, yang mewakili sudah sibuk berkata-kata, dan mereka yang singgah di cakruk sudah kenyang dengan kata-kata. Sehingga mereka malas untuk berkata-kata atau mencerna kata yang dihadirkan.

[Pemulung Rasa]

Post a Comment