Semut; "Merajut(lah) Kemanunggalan"

Pemulung Rasa

 

Serambi | edisi Semut; "Merajut(lah) Kemanunggalan"


Membaca merupakan salah satu langkah untuk menyerap berbagai ragam ilmu dan wawasan-wawasan baru. Sudah sedari zaman lalu, buku sangat dipercayai sebagai jendela ilmu. Memang benar, buku mengandung banyak ilmu. Namun, sejatinya alam semesta ini adalah samudera buku. Alam dan segala kejadiannya merupakan sebuah dasar ilmu dan intisari dari apa yang tercantum di dalam buku itu sendiri.

Terkadang manusia sudah merasa puas dengan atas pencapaian ilmunya ketika sudah mampu membaca dan memahami apa yang tertuliskan di dalam buku. Memang buku bisa menjadi salah satu metode untuk mengembangkan akal dan pikiran. Namun, hal seperti itu terkadang menjadikan manusia lupa bahwa apa yang ada di alam semesta ini sejatinya adalah buku-buku yang tidak tertulis, tidak dicetak di percetakan-percetakan dan diperjual-belikan di toko-toko buku. Bahkan tidak ada diperpustakaan sekolah, perpustakaan desa, perpustakaan umum, perpustakaan daerah, dan perpustakaan nasional.

Manusia sangat memerlukan pelajaran dari alam. Sebab tanpa memahami pesan Tuhan yang terselip dengan tersirat dalam berbagai hal yang berada di alam ini, bisa memicu rasa acuh tak acuh dan membiarkan alam perlahan hancur atau dihancurkan. Selain itu, dengan belajar dari alam, manusia bisa menjadi lebih insani, lebih luas, lebih dalam ketika memandang dan memperlakukan apapun, karena bukan hanya terpatok pada satu sisi tertentu.

Guna pegangan hidup di dunia ini, Tuhan pun telah meninggalkan kitab-kitabnya yang diturunkan kepada para nabi untuk pegangan dan jimat para pengikutnya. Manusia sedari lama memang sudah mengakui dirinya sendiri dan mendapatkan legitimasi dari makhluk-makhluk lain bahwa dirinya makhluk paling sempurna dari segala makhluk ciptaan-Nya. Akal dan pikiran tersebut merupakan salah satu alat untuk memahami, menghayati, dan mengaplikasikan apa yang sudah dititipkan kepada kekasih-kekasih-Nya, dan segala yang termuat baik secara implisit maupun eksplisit dari segala ciptaan-Nya.

Pada era Globalisasi seperti sekarang ini akal adalah kompas yang sangat berharga. Ia adalah harta benda yang wajib dijaga kemurniannya, kesehatannya. Pasalnya, saat ini manusia hidup seperti di hutan belantara. Banyak kasus yang ditayangkan di televisi, antar golongan saling serang, semua berjuang membenarkan golongannya sendiri-sendiri. Ras, agama, suku, dan latar belakang menjadi sebuah permainan dan alat untuk olok-olokan. Minoritas dan mayoritas masih menjadi suatu kasus yang selalu dipermasalahkan oleh manusia yang tidak menggunakan kompasnya. Secara kasarnya, orang sekarang sedang berebut dan mendirikan bendera atas sektenya masing-masing.

Era ini, kita pun terkadang menjadi manusia pelupa. Kita lupa bahwa mayoritas dan minoritas tidak ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, kita semua adalah sama yakni anak dari Ibu Pertiwi yang hidup dalam satu rumah yang sama sama yaitu Indonesia. Jimat kita pun  sama yakni Pancasila. Jimat kita pun sama, Bhinneka Tunggal Ika.

Cobalah sejenak kita menengok gerak hidup dari semut. Setiap berjalan ia saling menyapa. Gotong royong selalu di utamakan demi kemaslahatan kaumnya. Entah mereka berasal dari satu sarang atau pun berbeda sarang. Namun tetap saling sapa dan gotong royong demi membangun kerajaan tempat hidupnya yang penuh kedamaian, kesejahteraan, kemaslahatan, dan ketenteraman.

Lantas kita sekarang menengok dalam kalbu kita sebagai jiwa Indonesia. Apakah kita seperti itu? Ataukah kita kalah dengan semut yang tak berakal? Apakah kita masih akan terus berdebat dan saling hujat? Apakah kita masih akan terus menerus memproduksi kebencian satu sama lain? Bukankah kita ini satu? Apakah kita akan terus menerus bicarakan perbedaan? Indonesia ada karena perbedaan. Bukankah perbedaan itu merupakan anugerah yang indah dalam kehidupan?

Apakah kita masih akan terus bicarakan diri kita sendiri, golongan kita? Lantas kapan kita akan bersama-sama berbicara makna menjadi orang Indonesia?

[Pemulung Rasa]

Post a Comment