Semua Tinggal Ndasmu!

Pemulung Rasa

 

Sudrun dan Cakruk Tua | edisi Semua Tinggal Ndasmu!

"Apa kalian sudah pernah menemui orang kecanduan beramal? Apa kalian sudah pernah menemui orang kecanduan minum air zam-zam?" ucap Sudrun membuka kegundahan kawan-kawannya yang sudah cukup galau menunggu bakaran ketela yang tak kunjung matang.

Semua mata pun seketika menuju kearah Sudrun dengan berbagai ragam ekspresi.

"Sampean itu aneh, Kang. Bertanya kok ya yang sulit dicari. Mana ada orang kecanduan air zam-zam. Lha wong mendapatkannya saja harus nyebrang segara atau naik Boing 777." saut Tugio.

Baca juga Tetes Embun

Ia adalah salah satu kawan sudrun yang selalu istikamah mengurusi api agar tetap nyala agar bisa memproduksi areng yang banyak demi sesuap ketela bakar yang pulen sebagai bekal ngebyar di cakruk sampai pagi.

"Lha, apa kalian sudah pernah lihat orang kecanduan minuman keras atau sabu-sabu, dan sak brayate?” timpal Sudrun dengan wajah yang begitu datar.

Baca juga Ruang Pulungan

“Nah, kalau itu banyak sekali Kang. Di televisi, radio, dan koran juga berkali-kali memuat itu, malah yang dimuat korban dari pengguna barang tersebut.” jawab Tugio yang masih sibuk mengurusi api untuk membakar ketela, sembari menikmati sebatang rokok dari tembakau hasil keringat petani di desanya.

“Emm. Lha berarti minuman keras itu baik atau buruk?” Sudrun mendekai duduk Tugio.

Baca juga Serambi

"Sudah sangat jelas, Kang. Minuman keras itu ya sangat buruk, tidak baik untuk diminum karena efeknya yang memabukkan dan menghilangkan akal sehat.” saut Songep yang jongkok di samping Tugio.

"Bukankah yang jelek itu sebenarnya manusianya bukan minuman kerasnya?"

Dengan nada sok tegas kang Sudrun dengan santainya mengeluarkan opini yang bertentangan dengan pemikiran kawan-kawannya di cakruk. Tugio pun dengan cepat dan penuh aura ketidaksetujuan merespon tuturan Sudrun yang dirasa itu adalah kata-kata gendeng "Ya tetap tidak! Minuman keras itu sudah jelas jelek, buruk, tidak baik. Kalau air zam-zam itu baik.” suara itu keluar dengan tenang namun mata Tugio begitu tajam menatap Sudrun.

Baca juga [Cerbung] Ruang itu Bernama (Ke)sunyi(an)

“Kalau manusia sudah tahu minuman keras itu jelek, buruk, tidak baik, kenapa manusia masih banyak yang meminumnya? Bahkan ada pula yang sampai kecanduan akut atas apa yang sudah diketahui kalau barang tersebut sejatinya jelek. Berarti yang tidak baik bukan minuman kerasnya tapi manusianya, karena tidak menggunakan akal sehatnya. Secara bahasa santunnya sek elek iku utekmu, ndasmu! Semua itu kembali kepada bagaimana ndasmu mengolah dan memikirkannya dengan jernih sebelum melahirkan pandangan, penilaian, dan sikap atas suatu hal itu sendiri. Terkadang karena keegoisan, keakuan, dan limitasi diri kita lantas menyalahkan hal di luar diri kita. Padahal bisa jadi yang tidak tepat adalah diri kita sendiri, ada sebuah disharmoni, disinformasi, dan dis dis dis yang lainnya. Pada itulah moral dan akhlak ditanamkan, di bentuk, di bangun.”

"Kranjingan!"

Mat Tobil penuh semangat melontarkan kata andalannya untuk melampiaskan kekecewaannya karena mendengarkan pembicaraan Sudrun yang Nyudrun.

Sudrun tersenyum.

Baca juga Hidup Tanpa Kegalauan

Lha, ketelanya coba dilihat, sudah matang apa belum. Dari baunya kok sepertinya sudah matang. Dan tau tidak, Bil (ucapan akrabnya dengan Mat Tobil), Tug (sapaan akrabnya dengan Tugio)?”

Tobil menatap tajam Sudrun seraya berkata “Apa meneh?!”

“Aku ngomong seperti itu ya karena wegah nglangut, anteng, njegidheg, mbisu menunggu ketela bakarnya matang.” ucap Sudrun sembari mengambil secangkir kopi hitamnya.

"Kranjingan!" saut Tugio dan Mat Tobil.

 


Post a Comment